Kamis, 02 Juni 2011

Pajak Dalam Islam

Definisi Pajak

Pajak adalah iyuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung.
Sedangkan pengetian pajak menurut beberapa ahli :
1.Prof Dr Adriani
pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan, yang terutang oleh wajibpajak membayarnya menurut peraturan derngan tidak mendapat imbalan kembali yang dapat ditunjuk secara langsung.
2. Prof. DR. Rachmat Sumitro,SH
pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari kas rakyat ke sektor pemerintah berdasarkan  undang-undang) dapat dipaksakan  dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestasi)yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.
3.  Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R,
Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan
            Lima unsur pokok dalam defenisi pajak
  • Iuran / pungutan
  • Pajak dipungut berdasarkan undang-undang
  • Pajak dapat dipaksakan
  • Tidak menerima kontra prestasi
  • Untuk membiayai pengeluaran umun pemerintah
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama al-Usyr[1] atau al-Maks, atau bisa juga disebut adh-Dharibah, yang artinya adalah; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak.[2] Atau suatu ketika bisa disebut al-Kharaj, akan tetapi al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah secara khusus.[3]
Sedangkan para pemungutnya disebut Shahibul-Maks atau al-Asysyar.
Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah: “Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum.[4]

Macam-macam Pajak

Diantara macam pajak yang sering kita jumpai di Indonesia ialah:
  • Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya.
  • Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.
  • Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
  • Pajak Barang dan Jasa.
  • Pajak Penjualan Barang Mewam (PpnBM).
  • Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
  • Pajak Transit/Peron dan sebagainya.


Dalil – dalil tentang Pajak
Al-Hasyr:
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya.
  
29. Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk. At Taubah: 29[6]



Pendapat tokoh Ulama Muslim tentang Pajak
Abu Yusuf
Beliau adalah seorang mujtahid yang independen  karena dapat menggabungkan  hadis serta nalar secara tepat. Abu Yusuf menekankan bahwa pemerintah mempunyai otoritas dan hak untuk membagikan tanah kepada para pejuang sebagai harta rampasan. Namun, lebih baik bila pemerintah memutuskan untuk mengembalikan tanah kepada pemiliknya dan menarik pajak dari mereka sebagai pendapatan tetap bagi Negara untuk kesejahteraan ummat Islam.[7]
Ibnu Hazm
Ibnu Hazm berpendapat adanya kewajiban selain zakat, Namun  fuqaha yang lain menyatakan tidak ada kewajiban harta selain zakat, harta yang dikeluarkan selain zakat merupakan sedekah atau santunan yang disunahkan. Pendapat ini dipertegas dengan adanya dalil yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan dari sahabat Thalhah r.a. Hadis itu menegaskan tidak ada kewajiban harta selain zakat. Adapun kewajiban harta selain zakat  sangat tergantung pada situasi dan kondisi serta kebutuhan atau bersifat aridhi (karena suatu sebab) dan bukan dzati (tidak tertentu jumlahnya). Ibnu Hazm sendiri menyatakan bahwa kewajiban harta selain zakat tersebut ada selama zakat dan kas negara (bait al-mal) tidak cukup untuk menanggulanginya. Jika mencukupi maka kewajiban itu hilang dengan sendirinya.[8]
Imam Ibnu Hazm sangat konsen terhadap faktor keadilan dalam system pajak.Menurutnya Sebelum segala sesuatunya di atur, hasrat orang untuk mengeluarkan kewajiban pajak harus di pertimbangkan secara cermat karena apapun kebutuhan seseorang terhadap apa yang di keluarkannya akan berpengaruh pada sistem dan jumlah pajak yang di kumpulkan.
Beliau juga sangat menekankan bahwa dalam melakukan pemungutan pajak haruslah memperhatikan sistem pengumpulan pajak secara alami. Dalam hal ini tiadak adanya sifat kasar dan eksploitatif dalam pengumpulan pajak harus dihindari sertapengumpulan pajak juga tidak boleh melampaui batas ketentuan syariah.
Imam Ghazali
Menurut beliau, apabila keadaan Negara sedang sangat membutuhkan tentara untuk menjaga dan melindungi wilayahnya dari segalamacam ancaman, sementara perbendaharaan Negara tidak mencukupi, pemerintah berhak memungut pajak dari rakyat yang mampu. Dalam hal ini ia mensyaratkan bahwa pemerintahan Negara itu merupakan pemerintahan yang kredibel, kondisi keuangan Negara benar-benar dalam keadaan kosong serta kebijakan ini hanya khusus dikenakan pada kondisi tersebut, yakni untuk memenuhi kebutuhan tentara saja.[9]

Undang – Undang Perpajakan Indonesia
  1. UU RI NO 16 tentang prubahan kedua atas uu no. 6 thn 1983 yaitu tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan
  2. UU RI NO 17 tahun 2000 tentang perubahan kedua atas uu  no 7 thn 1983 tentang pajak penghasilan
  3. UU RI NO 18 tahun 2000 tentang perubahan kedua atas uu no 8 thn 1983 tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah
  4. UU RI NO 19 tahun 2000 tentang perubahan atas uu no 19 thn 1997 tentang penghasilan pajak dengan surat paksa
  5. UU RI NO 20 tahun 2000 tentang perubahan uu no 21 thn 1997 tentang peralihan hak atas tanah dan bangunan . kelima uu ini diundangkan pada tanggal 2 agustus 2000 dan berlaku sejak 1 januari 2001
  6. UU RI NO 34 tahun 2000 tentangperubahan atas undang-undang  no 18 thn 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Undang-undng ini diundangkan pada tanggal 20 Desember 2000 dan berlaku saat diundangkan.









[1] Lisanul-Arab 9/217-218, al-Mu’jam al-Wasith halaman 602, cetakan al-Maktabah al-Islamiyyah dan Mukhtar ash-Shihah halaman 182.
[2] Lihat Lisanul-Arab 9/217-218 dan 13/160 cetakan Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Shahih Muslim dengan syarah-nya oleh Imam Nawawi 11/202, dan Nailul-Authar 4/559 cetakan Darul Kitab al-Arabi.
[3] al-Mughni 4/186-203.
[4] Dinukil definisi pajak ini dari buku “Nasehat Bijak ‘Tuk Para Pemungut Pajak” oleh Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, dan sebagai amanah ilmiah kami katakan bahwa tulisan ini banyak mengambil faedah dari buku tersebut.

[5] Al Qur’anul kariim

[6] Al Qur’anul kariim
[7] Dr. Euis Amalia M, Ag, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari masa klasik hingga kontemporer. Cetakan kedua, hal 76.
[8] Dr. Euis Amalia M, Ag, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari masa klasik hingga kontemporer. Cetakan kedua, hal 145.

[9] Dr. Euis Amalia M, Ag, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari masa klasik hingga kontemporer. Cetakan kedua, hal 130.

1 komentar: